Teori Hermeneutika “Ma’na Cum Maghza” Sahiron Syamsuddin

Salah satu tokoh yang berupaya untuk mengenalkan Hermeneutika sebagai metodologi penafsiran Al-Qur’an adalah Sahiron Syamsuddin. Ia mengenalkan teori hermeneutika “Ma’na cum maghza”. Seperti apa praksisnya?

Di era globalisasi saat ini, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang bisa diaplikasikan dari waktu ke waktu. Hal itu dibuktikan dengan munculnya produk tafsir Al-Qur’an yang terus berkembang dengan beragam metodologi dan corak yang berbeda-beda. Meski demikian, penafsiran tersebut belum bisa menyesuaikan pada kondisi saat ini dengan persoalan yang semakin kompleks. 

Hambatan itu lah yang kemudian memicu para tokoh tafsir untuk menggunakan Hermeneutika sebagai metode baru dalam studi tafsir Al-Qur’an. Para tokoh Hermeneutika menganggap bahwa dalam memahami ajaran Islam untuk konteks saat ini kurang relevan jika hanya menggunakan metode konvensional. 

Oleh karena itu perlu pendekatan yang bersifat pemahaman kontemporer, yaitu pendekatan hermeneutika. Salah satu tokoh yang berupaya untuk mengenalkan Hermeneutika sebagai metodologi penafsiran Al-Qur’an adalah Sahiron Syamsuddin yang merupakan seorang ahli tafsir sekaligus sebagai Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga dengan teori yang ditawarkannya yaitu, ma’na cum maghza

Sebelumnya, pemikiran Sahiron Syamsuddin dipengaruhi oleh beberapa tokoh seperti Hans Georg Gadamer dan Georg  Gracia yang mempengaruhi beliau dengan pemikiran hermeneutikanya. Sedangkan Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Abdullah Saeed, mempengaruhi beliau terkait masalah penafsiran yang relevan untuk diaplikasikan pada konteks kekinian. 

Kaitannya dengan tipologi pemikiran tafsir kontemporer, Sahiron Syamsuddin membagi menjadi tiga kelompok yaitu pertama, tipologi objektivis tradisionalis yaitu memahami ajaran Al-Qur’an hanya sekedar tekstualnya saja, sesuai dengan kondisi zaman ketika ayat itu turun.

Kedua, tipologi subjektifis yaitu dalam memahami Al-Qur’an hanya perlu menggunakan ilmu-ilmu bantu yang sedang berkembang di era saat ini saja, sehingga tidak perlu lagi menggunakan metode konvensional. Ketiga, Tipologi Objektivis Modernis yaitu dalam memahami Al-Qur’an perlu menggunakan metode konvensional dan juga tidak mengabaikan metode baru kontemporer.

Sahiron Syamsuddin berpendapat bahwa, dari ketiga tipologi diatas yang paling tepat untuk diterima yaitu tipologi Quasi Objektivis Modernis karena memiliki keseimbangan hermeneutika. Yakni tetap memperhatikan perlunya memahami makna asal literal dan pesan utama dibalik makna literal tersebut, yang kemudian ditambah dengan penjelasan tentang signifikansi ayat.

Dari situlah kemudian Sahiron Syamsuddin  mengistilahkannya dengan ma’na cum maghza. Dapat kita pahami bahwa, pendekatan ma’na cum maghza adalah suatu penafsiran yang menjadikan makna literal (tersurat) sebagai langkah awal untuk memahami pesan utama teks (tersirat) atau signifikansi, yang kemudian signifikansi tersebut dikembangkan sesuai dengan konteks kekinian.

Dalam penerapannya, teori ma’na cum maghza memiliki langkah-langkah metodis yang harus diperhatikan yaitu pertama, makna historis (al-ma’na al-tarikhi). Kedua, signifikansi fenomenal historis (al-maghza al-tarikhi). Kedua poin tersebut dapat diaplikasikan melalui beberapa tahapan yaitu pertama, menganalisis bahasa teks Al-Qur’an, karena bahasa dapat mengalami perubahan di setiap zamannya sehingga, dalam menafsirkan perlu memperhatikan penggunaan dan kosakata ayat pada saat diturunkan. 

Kedua, melakukan intratekstualitas (membandingkan dan menganalisis penggunaan kata yang sedang ditafsirkan, dengan penggunaannya pada ayat yang lain). Ketiga, melakukan analisis intertekstualitas jika dibutuhkan dan memungkinkan yakni, dengan cara menghubungkan dan membandingkan ayat Al-Qur’an dengan teks lain yang berada di sekitar Al-Qur’an.

Keempat, memperhatikan konteks historis pewahyuan Al-Qur’an, baik mikro (sabab al-nuzul) maupun makro (bagaimana kondisi di Arab pada masa pewahyuan Al-Qur’an). Kelima, mencoba merekonstruksi signifikansi atau pesan utama historis ayat yang sedang ditafsirkan. 

Selanjutnya, poin ketiga yaitu, signifikansi fenomenal dinamis (al-maghza al-mutaharrik). Dalam penerapannya, terdapat beberapa tahapan metodis yang harus diperhatikan yaitu pertama, menentukan kategori ayat. Kedua, reaktualisasi (mengembangkan hakikat/definisi) dan melakukan kontekstualisasi signifikansi ayat.

Ketiga, menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an. Keempat, memperkuat konstruksi signifikansi dinamis ayat dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu lainnya. Tujuan utama diterapkannya pendekatan ma’na cum maghza ini adalah menggali makna signifikansi historis dari ayat yang ditafsirkan dan kemudian dikembangkan menjadi signifikansi dinamis (konteks kekinian dan kedisinian). 

Dari penjelasan sebelumnya mengenai pemikiran dan juga metode yang digunakan oleh Sahiron Syamsuddin, menunjukkan bahwa terdapat prinsip hermeneutika dalam teori ma’na cum maghza, antara lain yaitu tidak berkepentingan untuk mendekonstruksi teks, makna itu sifatnya berkembang, dan memiliki keseimbangan dalam empat kutub yakni teks, konteks, masa lalu, dan kekinian.

Melihat kondisi Islam saat ini terutama di Indonesia, banyak diresahkan dengan penafsir klasik yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an secara tekstualis dan literalisnya saja, sedangkan fenomena yang terjadi selalu mengalami perkembangan. Hal itu menjadikan umat Islam merasa terbebani ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, baik dari segi sosial kemasyarakatan maupun dalam hal beragama. 

Untuk merespon persoalan tersebut, saya berpendapat bahwa pendekatan yang ditawarkan oleh Sahiron Syamsuddin memang sangat relevan digunakan pada konteks saat ini, karena didalamnya terdapat keseimbangan antara teks dan konteks, sehingga mampu menghasilkan suatu penafsiran dinamis yang selalu menyesuaikan pada kondisi zamannya termasuk latar belakang sosial dan budaya.

Pendekatan ma’na cum maghza memang memiliki beberapa kesamaan dengan pendekatan yang digunakan oleh Fazlur Rahman yakni double movement, dan juga pendekatan kontekstual oleh Abdullah Saeed yang hanya diaplikasikan pada ayat hukum saja. Namun, tetap saja kedua pendekatan tersebut berbeda dengan pendekatan ma’na cum maghza yang mencoba untuk mengupas seluruh pemaknaan Al-Qur’an agar tetap terus dinamis.

(Sumber artikel: haraqah.id: photo: ibihtafsir.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

YMiC chat
Scan the code
YMiC Online
Salam 😁🙏